Bangka Belitung, kabarbangkabarat.com – Pilkada Serentak 2024 di Bangka Belitung diprediksi akan diwarnai oleh pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong, sebuah fenomena yang memicu kekhawatiran terkait pelecehan demokrasi. Dua daerah yang diperkirakan akan mengalami situasi ini adalah Pilwako Pangkalpinang dan Pilkada Bangka Selatan.
Di Pilwako Pangkalpinang, pasangan Maulan Aklil-Hakim telah berhasil meraih dukungan dari seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPRD, menciptakan sejarah baru dengan melawan kotak kosong. Sementara itu, di Pilbup Bangka Selatan, pasangan incumbent Riza Herdavid-Debby juga hampir mendapatkan dukungan penuh dari partai politik.
Fenomena ini mendapat kritikan dari Akademisi Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (UBB), Ariandi Zulkarnain. Menurut Ariandi, kemunculan calon tunggal yang melawan kotak kosong menunjukkan adanya “broken link” atau keterputusan antara aspirasi pemilih dengan keputusan partai politik.
“Kita semua menyaksikan bagaimana partai politik melakukan manuver dan drama pada Pilkada 2024 ini. Beberapa daerah di Indonesia, termasuk Babel, sudah menunjukkan kecenderungan untuk menggelar Pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong. Ini mencerminkan kesepakatan elit partai politik yang seolah menjadikan Pilkada sebagai permainan kartel untuk mengeliminasi lawan politik dan mengedepankan pragmatisme,” ujar Ariandi pada Kamis (15/8/2024).
Ariandi menyebutkan bahwa kotak kosong merupakan bentuk perampasan hak rakyat melalui Pilkada yang dinilai menghilangkan esensi demokrasi dalam pemilihan pemimpin.
“Baik di Pangkalpinang maupun Bangka Selatan, potensi besar terjadinya Pilkada kotak kosong menjadi contoh nyata bahwa strategi politik kini beradaptasi dengan cara memborong dukungan partai untuk melahirkan calon tunggal,” tambahnya.
Meski demikian, Ariandi juga menekankan bahwa keberadaan kotak kosong memiliki landasan konstitusional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
“Lahirnya pasal kotak kosong sebenarnya adalah respons alami terhadap superioritas elektabilitas petahana di suatu daerah. Namun, setelah dilegalkan, kotak kosong seringkali dianggap sebagai cara efektif untuk memenangkan Pilkada melalui kesepakatan yang terjadi di ruang-ruang tertutup, jauh dari sorotan publik,” jelasnya.
Ariandi menegaskan bahwa kotak kosong merupakan sebuah paradoks dalam demokrasi Indonesia, terutama mengingat populasi yang besar dan sistem multipartai yang diterapkan saat ini.
“Pilkada yang harus dilaksanakan dengan calon tunggal menunjukkan bahwa partai politik mungkin telah luput dari peran mereka dalam proses kandidasi dan nominasi pemimpin bagi publik,” pungkasnya.